Dari Meja Ketua

Displaying items by tag: society

PELAYAN KRISTUS YANG BERDAMPAK DI ERA MASYARAKAT DIGITAL[1]

 Pdt. Dr. Daniel Ronda, Th. M

 

Pendahuluan

                 Dunia sudah berubah dan perubahan itu akan terus terjadi tak seorang ahli pun dapat mengetahui ke mana ujungnya. Semua ini adalah bagian dari disrupsi yang saat ini disebut revolusi industri 4.0. Perubahan yang cepat dan kompleks disederhanakan dengan istilah yang disebut era digital atau era masyarakat digital. Suatu masyarakat atau generasi yang benar-benar me-nyatu dengan teknologi. Kehidupan yang menyatu dengan teknologi internet membuat para pemimpin ter-masuk dunia pendidikan patut mengantisipasinya de-ngan serius. Negara Indonesia juga menjadi bagian dari perubahan itu. Apalagi sebagai negara dengan penduduk keempat terbesar di dunia sudah mengalami perubahan yang drastis ini. Peristiwa pandemi Covid-19 selama dua setengah tahun mempercepat proses digitalisasi masya-rakat Indonesia, termasuk kehidupan gereja.

                Tantangan perubahan dunia dan Indonesia itu berdampak pula ke masalah spiritualitas manusia. Kehi-dupan beragama menjadi lebih pragmatis karena di satu sisi dapat mempermudah prosesi keagamaan namun ada kecenderungan terjadi pendangkalan spiritualitas. Me-mang spiritualitas dalam kekristenan tidak mudah diu-kur karena sifatnya sangat subjektif dan dalam kekris-tenan spiritualitas itu sebuah perjalanan yang dinamis.[2] Walaupun demikian hal ini tampak dengan banyaknya pemimpin rohani dadakan yang muncul di platform media sosial tanpa latar belakang teologi, namun menjadi populer karena pengaruhnya di media seperti menjadi artis atau komedian.

                Pada sisi lain pengaruh pemimpin rohani ter-hadap generasi muda terhadap spiritualitas semakin me-nurun. Bilangan Research Center dalam publikasi hasil pe-nelitian menunjukkan bahwa peran pemimpin rohani (baca: gembala) semakin menurun dalam kehidupan rohani seseorang, khususnya dalam kehidupan generasi muda. Ditemukan bahwa: “terjadi penurunan peran gembala jemaat dalam menuntun anak, remaja, dan pemuda untuk percaya pada Tuhan Yesus, dari 37,9% pada tenggang waktu sekitar 30-40 tahun yang lalu, menjadi 10,6% di antara generasi muda hari ini.”[3]

                Dunia digital bukan hanya menghadirkan man-faat bagi kehidupan tapi kebangkitan nasionalisme aga-ma membuat terjadinya konflik sosial. Maraknya kehi-dupan beragama justru ditandai dengan banyaknya kon-troversi atau konflik antar agama di media sosial, seperti saling menyerang dan menjelekkan antara pemimpin agama dan ajaran agama lain.[4]

                Melihat berbagai latar belakang permasalahan yang dihadapi gereja saat ini, maka dapat dirumuskan permasalahan yang dihadapi sebagai berikut:

                Pertama, bonus demografi yang sering disebut sebagai keuntungan negara Indonesia di mana penduduk produktif yaitu usia 15-64 ada di kisaran 70% dari penduduk Indonesia ini memang bisa menjadi bonus tapi juga sekaligus menjadi tantangan dan bencana bila tidak dikelola dengan benar. Jadi bagaimana pemimpin rohani dapat memberikan nilai-nilai (values) bagi generasi baru ini?

                Kedua, pelayanan gereja di dunia digital masih penuh tantangan dan pada sisi lain kondisi kese-jahteraan penduduk, kondisi politik, ekonomi, pendi-dikan, kesehatan, sosial, budaya, agama dan juga ling-kungan perlu mendapat perhatian gereja karena itu ada-lah mandat untuk pelayan Kristus layani. Tantangannya adalah pendekatan transformasional apa yang dipakai untuk menjadi pemimpin rohani yang berdampak?

                Ketiga, belum tertatanya etika global masyarakat digital sehingga konspirasi, kebohongan, dan rekayasa berita menjadi makanan sehari-hari. Jika tidak ada gera-kan etika maka konflik diprediksi akan semakin men-jadi-jadi termasuk politik identitas yang dapat memba-wa perpecahan bangsa. Pergumulannya adalah bagaima-na pelayan Kristus menghadirkan kepemimpinan yang autentik yang menggambarkan kehidupan sebagai war-ga kerajaan Allah?

                Dalam menjawab pergumulan ini, maka tulisan ini akan memberikan kajian teoritis tentang kepemimpi-nan rohani yang dibutuhkan di era masyarakat digital, sejauh mana transformasi digital telah ikut dilakukan gereja, serta peran yang dilakukan pemimpin rohani un-tuk dapat berdampak secara signifikan dalam masya-rakat digital.

Kepemimpinan Rohani yang Dibutuhkan

        Menjadi pelayan Kristus yang berdampak memerlukan kompetensi kepemimpinan. Ada tiga model kepemimpinan di era digital yang diperlukan:[5] Pertama, kepemimpinan berbasis nilai-nilai (Values-Based Lea-dership). Kepemimpinan tidak hanya berbicara tentang keahlian teknis seperti kemampuan penguasaan teknologi informasi, tapi harus didasari nilai-nilai yang dimiliki pemimpin. Dalam memasuki dunia digital suatu organisasi termasuk gereja tidak dapat mencapai tujuan jika dibangun tanpa nilai. Jika demikian maka gereja akan menghadapi situasi di mana budaya organisasi menjadi tidak kondusif karena tidak ada tanggung jawab dan etika moral menjadi rendah. Adalah James O’Toole yang melihat pentingnya kepemimpinan berba-sis nilai di mana ini adalah cara untuk memampukan organisasi mencapai tujuan. Ketika dalam organisasi su-dah ada visi dan misi, tujuan dan sasaran, rencana stra-tegis dan manajemen yang baik, maka penting dibangun di atas nilai-nilai yaitu integritas, kepercayaan, mende-ngarkan, menghormati pengikut:[6]

        1. Integritas: arti integritas dimulai dari hati, pikiran, dan tindakan yang sama. Integritas berkaitan dengan siapa Anda sebagai satu pribadi, komitmen yang Anda pegang, dan tindakan yang konsisten dengan diri dan komitmen Anda.[7] Memiliki integritas adalah nilai se-buah kesatuan antara perkataan, keyakinan, dan perbu-atan pada diri individu seorang pemimpin. Ini nilai ter-tinggi dalam kepemimpinan di organisasi apapun ben-tuknya.            

        2.  Kepercayaan: Salah satu nasihat kepemimpinan yang tak lekang waktu adalah pada waktu Musa dinasihati mertuanya tentang syarat memilih pemimpin. Kitab Keluaran 18:21 mengatakan bahwa mereka yang layak dipilih sebagai pemimpin haruslah “orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengajaran suap.”

        Hakikat kepercayaan adalah pemimpin itu pelayan dengan tanggung jawab serta hak-hak istimewa peran yang dibagikan kepada semua tim kepemimpinan. Kepercayaan berbicara tentang pemimpin yang menja-dikan pengikutnya memiliki keberanian dan optimisme. Aspirasi dan pendapat pengikut diwadahinya sehingga mereka mempercayai pemimpin yang pada akhirnya organisasi menjadi kuat. Lebih lanjut, kerja tim dan kolaborasi hanya bisa terwujud ketika orang-orang dalam organisasi saling percaya.[8]

        3.  Mendengarkan: Kunci keberhasilan seorang pemim-pin adalah kemampuan untuk mendengarkan pengikut-nya, memahami keinginan organisasi pelayanan yang di-pimpinnya. Untuk memahami orang lain dan merasakan perasaan mereka, seorang pemimpin harus menjadi pen-dengar yang baik. Pendengar yang terampil menyebab-kan mereka tahu bahwa mereka didengar, dan mereka tidak ragu mengungkapkan pemahaman tentang kepri-hatinan dan masalah. Ketika seorang pemimpin adalah pendengar yang baik, orang-orang merasa dihormati dan kepercayaan bisa tumbuh.[9]

        4. Menghargai pengikut: Kepemimpinan yang lebih tepat diterapkan dalam organisasi pelayanan adalah se-perti seorang yang sedang mengajar dan bukan meme-rintah. Pemimpin wajib menjadi guru yang baik bagi para pengikutnya. Pemimpin sebagai guru memberikan persona yang memberdayakan, mendorong pengikutnya untuk menerima nilai-nilai pelayanan dan menginterna-lisasikannya, serta dibangun kelompok- kelompok kerja yang diharapkan berkembang. Kepemimpinan model guru berbicara tentang menghargai karunia setiap indi-vidu yang dipakai untuk kepentingan memimpin secara bersama-sama.

         Model kepemimpinan yang kedua, kepemimpi-nan berbasis transformasi. Kepemimpinan model ini adalah berbeda dengan kepemimpinan transaksional atau kepemimpinan yang berfokus kepada manajemen yang baik dan tertata. Kepemimpinan transaksional berfokus kepada penyusunan visi dan misi, strategi pencapaian, manajemen tata kelola yang baik, serta luaran (output) yang diharapkan. Tapi berbeda dengan kepemimpinan transaksional, seorang pemimpin trans-formasional dalam mencapai tujuannya memandang organisasi sebagai entitas di mana sang pemimpin melakukan persuasi dan motivasi, mendorong, meyakin-kan, dan akhirnya mendorong perubahan. Seorang pemimpin transformasional bukan pemimpin yang ber-fokus kepada dirinya sebagai pahlawan tapi dia adalah agen perubahan mengkonsepkan realitas organisasi me-lalui visi dan misi serta menetapkan cara menetapkan strategi untuk mewujudkan visi dan misi itu. Cara yang dipakai adalah dengan menginspirasi, memotivasi, serta menemukan peluang pertumbuhan, dan meningkatkan efektivitas pelayanan. Cara membangun kepemimpinan yang berbasis transformasi atau perubahan meliputi membangun pengaruh, memberikan motivasi yang me-nginspirasi, menstimulasi pikiran, dan mentoring:

 

  1. Membangun pengaruh: pemimpin transformasional bekerja menuju perubahan nyata dimulai dengan mem-bangun pengaruhnya seperti memimpin dengan membe-ri contoh, bertindak dengan optimisme, punya keper-cayaan diri, memiliki standar moral dan etika yang ting-gi sehingga putusan yang dihasilkan menjadi sebuah pe-ngaruh yang akan diikuti.

 

  1. Memberi motivasi yang menginspirasi: dalam Alki-tab ada pemimpin bernama Nehemia yang menunjuk-kan kemampuan dalam memberi motivasi dan inspirasi dalam memimpin bangsa Israel membangun tembok Ye-rusalem. Ia berhasil mengubah dalam waktu singkat pe-ngikutnya dari pesimis dan berkecil hati menjadi pekerja yang agresif dan efektif.[10] Pemimpin menjadi sumber ins-pirasi dan motivasi yang tujuannya mengangkat sema-ngat tim dan menantang untuk mencapai tujuan yang le-bih tinggi dalam pekerjaan mereka. Caranya adalah de-ngan mengartikulasikan visi masa depan yang jelas dan optimis serta melibatkan para pengikut dalam kepe-mimpinan, para pemimpin membangun komitmen mela-lui visi bersama dan karenanya dapat meminta komit-men dari para pengikut.

 

  1. Menstimulasi pikiran: caranya pemimpin merang-sang upaya dan refleksi diri para pengikut, melalui per-tanyaan-pertanyaan asumsi yang kreatif dan inovatif, tanpa kritik apa pun terkait dengan ide-ide mereka. Kri-tik sebaiknya tidak dilakukan dalam fase internal ini, se-baliknya, ide-ide dibiarkan berbeda dari para pemimpin, untuk memungkinkan perspektif yang berbeda terhadap masalah tersebut tanpa takut akan sanksi atau huku-man. Bahkan pemimpin dapat meminta pengikutnya un-tuk menyampaikan saran yang radikal dan kontroversial yang tujuannya menghasilkan kreativitas serta peruba-han.

 

  1. Mentoring: dalam mementor maka para pemimpin terlibat dalam peran mengajar dan melatih, sambil mem-berikan perhatian khusus pada kebutuhan tiap individu. Dengan bertindak sebagai mentor, pemimpin fokus pada kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mendorong per-tumbuhan dan pencapaian lebih lanjut di antara para pe-ngikut. Para pemimpin diwajibkan mendengarkan, me-ngenali dan menerima perbedaan dalam sifat pada tiap individu sehingga mampu beradaptasi. Cara mementor itu berbeda dari satu kepada yang lain. Ada yang lebih lunak dengan mempedulikan, membimbing dan flek-sibel, tapi ada yang harus lebih keras dan lebih bero-rientasi pada pelaksanaan tugas. Tujuan mentoring adalah menciptakan lingkungan yang aman bagi pengikut un-tuk belajar dan mencoba tugas baru di mana mereka merasa dibimbing dan dipantau mencapai tujuan organi-sasi.

                Akhirnya model kepemimpinan yang ketiga yaitu kepemimpinan berbasis autentisitas. Kepemimpinan au-tentik mengembangkan perspektif bahwa untuk benar-benar berdampak dan bermanfaat bagi individu, pelaya-nan, bangsa dan masyarakat, pemimpin autentik harus memiliki karakter yang kuat, yang lahir dari nilai inter-nal diri, baik secara mental maupun spiritual. Autentisi-tasnya kemudian menjadi sebuah proses pertumbuhan bersama antara dirinya dengan organisasi pelayanan yang dipimpinnya. Ada empat karakteristik pemimpin yang autentik yaitu pemimpin yang mengenal dirinya dengan baik, transparan, membangun keseimbangan, punya etika moral yang kuat berdasarkan prinsip Alki-tab:

 

  1. Mengenal diri: pemimpin yang mengenal diri akan berusaha menciptakan interaksi dan membuat dampak yang berarti bagi dunia. Caranya dengan mencari umpan balik pada orang lain serta meningkatkan dialog dengan individu untuk memahami siapa dirinya. Dengan demi-kian pemimpin akan tahu kekuatan dan kekurangan diri lewat masukan yang diberikan melalui mata orang lain. Seorang pemimpin yang mengenal diri mampu meng-gambarkan kekurangannya serta memahami sifat dirinya yang beragam serta memperkuat kelebihan dirinya.

 

  1. Transparansi: pemimpin yang autentik itu transparan dalam menanamkan kepercayaan dan berbagi perasaan dan pikiran serta secara terbuka berbagi informasi de-ngan orang lain, sambil mencoba untuk menyeimbang-kan dan meminimalkan emosi yang tidak pantas. Pe-mimpin yang relatif transparan menghargai keaslian, ke-benaran dan keterbukaan. Pada saat yang sama mem-bimbing pengikut mereka dalam memahami sisi negatif dan positif dari diri mereka yang sebenarnya.

 

  1. Membangun keseimbangan: pemimpin wajib mem-buat analisis data objektif yang komprehensif sebelum membuat keputusan akhir. Pemimpin harus mengguna-kan pendekatan pemrosesan pengambilan keputusan dengan seimbang. Seorang pemimpin yang mampu ber-sikap objektif akan dihargai pengikutnya karena mampu mengolah informasi mana yang relevan maupun yang ti-dak relevan tanpa asumsi yang negatif, opini, atau pera-saan negatif. Dengan putusan yang objektif serta siap menerima hasil negatif dan positif dari analisis, pemim-pin jauh lebih autentik daripada yang didorong oleh sub-jektivitas yang bias.

 

  1. Memiliki etika moral yang Alkitabiah: pemimpin autentik adalah yang membangun kepemimpinan dari dalam dirinya sendiri (developing leadership within you).[11] Pedoman pemimpin adalah dipandu oleh nilai-nilai dan standar moral dari Alkitab, sehingga pemimpin berdiri melawan tekanan sosial kelompok serta mendasarkan nilai-nilai Alkitabiah ke dalam nilai-nilai organisasi pe-layanan. Pemimpin yang beretika adalah pemimpin yang membangun diri dalam kerendahan hati.[12]

 

Transformasi Digital dalam Gereja

 

                Dalam Revolusi Industri 1.0 pada abad ke-16,[13] penemuan mesin-mesin termasuk mesin cetak memiliki dampak paling dramatis pada peradaban manusia saat itu yang masih dirasakan sampai saat ini. Ini membawa suatu era baru yaitu budaya membaca bagi orang biasa dan menyediakan akses yang lebih luas kepada semua orang berbagi pengetahuan dan sastra dalam bentuk buku kepada semua manusia. Teknologi ini menyebab-kan Martin Luther dan para reformator untuk membawa Alkitab ke dalam rumah dan kehidupan sehari-hari orang-orang. Itu memungkinkan produksi katekismus untuk setiap tradisi Kristen, yang dengan cepat menjadi pusat pendidikan agama untuk anak-anak dan orang de-wasa. Gereja Kristen adalah pengadopsi awal teknologi baru mesin cetak dan revolusi yang dimulainya.[14] Ini mengubah kekristenan menjadi berkembang dan ber-tumbuh secara luar biasa sampai ke seluruh dunia.

                Pada abad kedua puluh satu muncul revolusi di-gital, yang dimulai dengan penemuan internet, beragam alat digital, teknologi, dan platform media sosial memiliki dampak dramatis yang sama pada masyarakat dunia ter-masuk gereja Kristen. Perpaduan antara media streaming, video conference, website, platform pembelajaran online, dan media sosial telah mengubah seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pelayanan gereja yaitu ibadah, semi-nar, dan pemuridan lainnya.

                Penemuan teknologi digital dan transformasi yang masih terus berlangsung adalah kisah yang paling fenomenal di awal abad kedua puluh satu. Dalam buku Networked: The New Social Operating System yang ditulis oleh Lee Rainie dan Barry Wellman menyatakan ada tiga dampak besar yang akan ditimbulkan revolusi digital ya-itu adanya jejaring sosial, internet, dan konektivitas se-luler pada kehidupan manusia. Bersatunya ketiga faktor ini telah berhasil menggeser kehidupan sosial masyara-kat dari keluarga, lingkungan dan hubungan kelompok yang terjalin erat menjadi jaringan pribadi yang lebih lu-as dan beragam.[15]

                Revolusi jaringan sosial memberikan peluang bagi orang untuk menjangkau dunia melampaui komunitasnya sendiri yang mana memberikan keraga-man dalam hubungan sosial tanpa batas serta jembatan untuk terwujudnya dunia baru. Revolusi internet telah menjadi kekuatan komunikasi dan kemampuan menda-patkan informasi yang berlimpah, memungkinkan setiap orang untuk menjadi penerbit dan penyiar bagi diri mereka sendiri dengan adanya platform media sosial yang ada. Ini menciptakan metode baru untuk jejaring sosial. Revolusi telepon seluler secara mendasar mengubah hubungan antara informasi, waktu, dan ruang. Informasi menjadi lebih mudah, partisipatif, dan pribadi. Orang-orang dari segala usia sekarang membuat konten melalui situs jejaring sosial dan media sosial yang tersedia. Dengan adanya kenyataan di mana kebanyakan orang adalah “penerbit” dan “penyiar” dan di mana sudah ter-sedia teknologi pencarian yang hebat seperti salah satu-nya “google.” Ini memudahkan untuk menemukan kon-ten yang diingini dan terhubung dengan orang yang me-miliki selera, gaya hidup, keyakinan politik, praktik spi-ritual, kondisi kesehatan yang sama. Orang juga dengan mudah terhubung dengan orang lain lewat media sosial yang dibangunnya.

                Dari fenomena di atas maka dapat dirumuskan ada enam karakteristik digitalisasi yang perlu dipahami oleh para pemimpin, karena ini berhubungan dengan penjelasan awal tulisan ini yaitu bagaimana gereja mam-pu memahami kondisi masyarakat digital saat ini:[16]

 

  1. Interkoneksi dan integrasi: sebuah kenyataan bahwa dalam aspek kehidupan organisasi yaitu komunikasi dan interaksi sosial ikut juga meningkat karena digitalisasi. Semua elemen kehidupan sudah terhubung dan bahkan semakin menyatu. Ini akan mendorong produktivitas, keberlanjutan, kualitas dan efektivitas dalam lingkup organisasi.

 

  1. Tidak ada jeda waktu dan kelimpahan informasi: peningkatan kecepatan informasi menyebabkan keputu-san harus diambil dengan cepat. Belum lagi kelimpahan informasi karena cepatnya informasi diterima lewat pon-sel pintar, tablet, dan media sosial. Ini membutuhkan a-nalisis yang kuat untuk memahami informasi dan bagai-mana memanfaatkan sepenuhnya.

 

  1. Transparansi dan kompleksitas: semua informasi tidak dapat lagi ditutupi di era digital ini. Itu sebabnya transparansi sangat diperlukan untuk mengelola trans-formasi organisasi. Sebagai contoh digitalisasi dari pela-yanan menyebabkan kebutuhan akan transparansi ba-gaimana proses pelayanan dikerjakan. Ketika pelayanan gereja memasuki dunia digital maka akan ada peningka-tan kompleksitas teknologi, pergeseran dan tantangan bagaimana pelayanan akan dilakukan di era digital.

 

  1. Tidak ada hirarki dan penghapusan penghalang pribadi: ketika organisasi menjadi lebih cair terjadi perubahan dalam struktur hirarki organisasi. Sebagai contoh misalnya, adanya gagasan ahli manajemen “pro-gram pendampingan terbalik” (reverse mentoring program) di mana mengacu pada inisiatif di mana eksekutif yang lebih tua dipasangkan dengan dan dibimbing oleh karya-wan yang lebih muda tentang topik-topik seperti tekno-logi, media sosial, dan tren saat ini.[17] Selanjutnya dari perspektif kepemimpinan bahwa waktu dan kehadiran di kantor secara rutin (pagi ke sore) adalah penghalang yang dapat dihilangkan sehingga memungkinkan karya-wan bekerja lebih produktif.

 

  1. Pembuat keputusan dan tingginya integritas: digi-talisasi memungkinkan proses pengambilan keputusan yang lebih cepat karena didukung oleh transformasi digital. Ini memang akan menimbulkan banyak ketega-ngan terutama antara sumber daya internal dan ekster-nal, aspek horizontal dan vertikal dalam organisasi, dan singkatnya waktu untuk pengambilan keputusan. Lewat putusan yang dibantu oleh data digitalisasi juga meme-ngaruhi integritas pribadi dan organisasi misalnya mun-cul rasa saling percaya yang menjadi faktor penting da-lam membangun pelayanan.

 

  1. Dampak yang memanusiakan: digitalisasi memben-tuk kembali lima pilar utama dalam pelayanan yaitu adanya pengikut, persaingan, data, inovasi, dan nilai. Digitalisasi telah membuat manusia untuk lebih mudah berinteraksi, berkomunikasi, dan saling terhubung me-lalui platform dan alat virtual dengan cara yang lebih au-tentik. Ketika manusia dan mesin terus saling terhubung lebih banyak orang bekerja berdampingan dengan “ro-bot” yang menyebabkan kolaborasi manusia-robot sema-kin dekat. Robot saat ini sudah “pintar” dengan kecer-dasan artifisial sehingga mampu melihat dan merasakan lingkungan mereka. Ketika manusia menjadi lebih saling terkait dengan komputer, masa depan interaktivitas a-kan menjadi “simbiosis” yang mana sebuah sistem di ma-na hampir semua orang dan segala sesuatu saling bergantung satu sama lain.

                Dari karakteristik digitalisasi ini, ternyata pene-rapan praktis yang meluas dari revolusi digital ke dalam kehidupan dan pelayanan gereja harus diakui merupa-kan proses yang lambat. Memang ada gereja perkotaan seperti di Indonesia menjadi inovator dan pengadopsi awal teknologi digital baru sejak dekade pertama tahun 2000-an.[18] Mereka menyiarkan kebaktian hari Minggu secara online dan menggunakan platform media sosial untuk terhubung dengan anggota mereka, sehingga mendapatkan pendengar atau penonton yang lebih luas. Dari sini, gereja ini membangun hubungan, berbagi iman, berdoa, mengeksplorasi masalah sosial, dan yang lainnya. Selain itu, mereka juga mengembangkan situs menarik yang berfungsi sebagai pusat kehidupan dan pelayanan gereja, serta memberikan ajakan yang menarik bagi orang-orang untuk mengalami komunitas mereka. Gereja-gereja urban ini sudah sejak awal mengadopsi da-lam pemanfaatan alat dan media digital untuk memaju-kan misi mereka dan mewartakan Injil.

                Berbeda dengan beberapa gereja urban yang begi-tu cepat mengakselerasi perubahan teknologi, maka ke-banyakan gereja memiliki respons yang berbeda. Ada yang cepat tapi kebanyakan lambat dalam mengantisi-pasi perubahan. Lewat peristiwa pandemi global Covid-19, maka terjadi pergeseran yang terpaksa yaitu manusia dipaksa melakukan seluruh aktivitas kehidupan kerja ke dunia virtual, termasuk konsumsi dan cara bersosiali-sasi. Ini memicu pergeseran besar-besaran dan lebih jauh ke aktivitas virtual untuk semua kehidupan manusia, termasuk pelayanan gereja.

                Salah satu paradoks dari perubahan dalam masa pandemi ini adalah ketika orang-orang mengasingkan diri dan belajar atau bekerja dari jarak jauh, justru ba-nyak yang menemukan kembali ikatan sosial yang lebih banyak orang daripada sebelumnya. Contohnya dengan zoom ada banyak dilakukan pertemuan, reuni keluarga, perayaan ulang tahun, pertemuan dengan anggota keluarga dan teman, dan banyak lagi. Orang-orang mulai secara alami beralih ke platform media sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling mendasar ini. Pandemi telah mempercepat perkembangan identi-tas manusia hibrid yaitu menjalani kehidupan mereka secara online dan offline. Alih-alih menganggap kedua-nya terpisah, manusia modern menyadari bahwa kehidu-pan mereka merangkul secara langsung (fisik) dan on-line (virtual).

                Ketika diaplikasikan ke dalam kehidupan pela-yanan gereja, maka mereka sekarang hidup dalam komu-nitas Kristen hibrid, karena gereja telah memasukkan a-lat, metode, dan media digital ke dalam kehidupan gereja dan pembentukan iman. Gereja memelihara hubungan, pertumbuhan rohani, penyembahan, dan pembelajaran, dan mereka terlibat dalam pelayanan secara pribadi dan online. Melalui media sosial, para anggota memupuk ko-neksi online yang tidak jauh berbeda dengan hubungan yang ada sebelum internet dan telepon genggam. Pande-mi Covid-19 telah menjadi alat penyadaran untuk gereja dalam penggunaan teknologi digital dan media sosial dalam kehidupan gereja dan pembentukan iman. Gereja-gereja urban yang sudah mengadopsi sejak awal justru meningkatkan inisiatif mereka untuk mengatasi tanta-ngan pandemi dan menghilangkan pertemuan fisik seba-gai tempat pelayanan. Gereja-gereja lain yang lambat mengadopsi pendekatan digital atau menolak dunia digital berjuang untuk beradaptasi dengan cepat dalam menghadapi tantangan pandemi. Ada yang berhasil, tapi banyak yang tidak. Dalam menghadapi pandemi, gereja-gereja mulai berdamai dengan kekhawatiran mereka tentang teknologi dan sudah melihat manfaat nyata yang diberikan oleh internet dan teknologi digital. Selama dua dekade terakhir, para peneliti yang mempelajari agama dan internet telah memperlihatkan manfaat tak terban-tahkan yang dapat ditawarkan oleh berbagai aspek pe-kerjaan keagamaan secara online kepada kelompok-kelompok agama. Ada pandangan yang berkembang yang menggambarkan bagaimana pindah ke dunia digi-tal berpotensi memperluas pengaruh kelompok agama ke pendengar baru dan menciptakan peluang untuk penjangkauan. Merangkul teknologi untuk tujuan pela-yanan rohani telah terbukti menjadi strategi vital selama pandemi dan seterusnya dalam dekade yang akan datang.[19]

  

Panggilan Untuk Berdampak di Era Masyarakat Digital

                 Sebagaimana tujuan dari tulisan ini ada tiga yaitu: pertama, pemimpin rohani dapat memberikan ni-lai-nilai (values) bagi generasi baru ini; kedua, mene-mukan pendekatan transformasional yang dipakai untuk menjadi pemimpin rohani yang berdampak; ketiga, pela-yan Kristus menghadirkan kepemimpinan yang autentik yang menggambarkan kehidupan sebagai warga keraja-an Allah.

                Peran umum yang perlu dilakukan sebagai pelayan Kristus untuk berdampak adalah keterbukaan, kemampuan beradaptasi serta sikap optimistik bahwa sesuatu bisa dikerjakan. Warren Bennis berkata, “Me-ngenai masalah natur kepemimpinan dengan memeliha-ra hal tersebut supaya para pemimpin menjadi efektif di dunia digital, itu ada hubungannya dengan keterbukaan terhadap yang baru. Hal ini didasarkan pada banyak faktor: terkadang kepribadian seseorang... Selain ketaha-nan dan keterbukaan, kualitas kapasitas adaptif adalah rasa optimis dapat melakukan dan mau mencoba.”[20]

                Secara khusus maka ada beberapa peran pekerja Kristus yang perlu dilakukan untuk dapat berdampak di era masyarakat digital:

                Pertama, pemimpin wajib memiliki fondasi nilai-nilai dalam kehidupan organisasi yang dipimpinnya. Dari kajian literatur dan observasi di lapangan maka pe-mimpin yang memimpin dengan nilai-nilai yang Alkita-biah akan menjawab karakteristik digitalisasi masyara-kat di mana nilai integritas, kepercayaan, mendengar-kan, serta menghormati pengikut menjadikan pelayanan siap melayani masyarakat hibrid.              

                Kedua, peran pemimpin wajib melakukan terobo-san perubahan (transformational leadership) lewat membangun pengaruh, memberi motivasi yang mengins-pirasi, menstimulasi pikiran, dan mentoring juga relevan dengan karakteristik masyarakat digital. Yang harus dilakukan pemimpin adalah terus belajar, berani mem-buat perubahan, dan mempraktikkan langsung pelaya-nan di dunia digital. “Belajar (learning), berubah (cha-nging), dan melakukan (doing) adalah dimensi internal yang terintegrasi dari proses pengembangan kepemimpi-nan transformasional yang berkelanjutan untuk mencip-takan perubahan positif bagi organisasi keagamaan dan organisasi nirlaba.”[21] Sudah waktunya gereja berani memasuki pelayanan dunia digital yang lebih serius me-ngingat dampak besar yang dihasilkan dari pelayanan ini. Kreativitas generasi Z dan Post-Z di gereja patut dia-jak masuk ke dalam pelayanan hibrid di mana pelayanan digital mampu menjawab permasalahan manusia secara holistik.

                Ketiga, peran pemimpin yang autentik melalui pengembangan karakter yaitu mengenal diri, transpa-ransi, membangun keseimbangan, dan memiliki etika moral yang alkitabiah adalah bagian penting dalam mengembangkan pelayanan di masyarakat digital. Saat semua orang bisa menjadi narasumber bagi dirinya, ma-ka membangun etika dan nilai-nilai etika dalam interak-si masyarakat digital adalah keniscayaan. Masyarakat di-gital tanpa etika akan menjadi masyarakat anarkis yang menghasilkan komunitas digital yang sakit. Edukasi ten-tang bagaimana menjadi warganet yang baik dan bereti-ka adalah panggilan utama sebagai pelayan Kristus. Di dalamnya termasuk mempromosikan moderasi beraga-ma sebagai perwujudan dari membangun etika bersama secara global.

 

Kesimpulan dan Refleksi

 

                Masyarakat digital sudah mengadopsi gaya hi-dup hibrid, di mana proses ini dipercepat dengan adanya pandemi Covid-19. Pekerja Kristus harus “keluar” de-ngan ada di dunia digital. Ia diharapkan membangun pelayanannya dengan model kepemimpinan berbasis nilai, kepemimpinan transformasional, dan kepemim-pinan yang autentik. Dari bangunan kepemimpinan yang solid ini diharapkan tiap pekerja bukan hanya memaha-mi karakteristik dari era digital, namun juga dapat mela-kukan tranformasi digital pada dirinya, pada lembaga, gereja dan masyarakat yang dilayaninya. Semua ini di-mulai dari sikap terbuka dan adaptif karena perubahan yang ada saat ini belum berhenti dan masih panjang. Fe-nomena gereja Metaverse misalnya adalah studi yang per-lu dicermati dahulu, di mana ini membuktikan peruba-han itu belum selesai. Selamat kepada para wisudawan/i. Tuhan menyertai perjalanan kehidupan Anda ke depan di universitas kehidupan ini.

 

Referensi

Bell, Skip. “Learning, Changing, and Doing: A Model for Transformational Leadership Development in Religious and Non-Profit Organizations.” Faculty Publications 6 (2010): 93-111. Diakses tanggal 22 Agustus 2022.  http://digitalcommons.andrews.edu/christian-ministry-pubs/6.

Bennis, Warren. “Leadership in DIgital World: Embracing Transparancy and Adaptive Capacity.” MIS Quarterly 37, no. 2 (Juni 2013): 635-636.

Bishop, Jonathan. “Book Review: Networked: The New Social Operating System.” International Journal of E-Politics 4, no. 2 (2013): 64-66. Diakses 22 Agustus 2022. 10.4018/jep.2013040106.   

Budijanto, Bambang (ed.). Dinamika Spiritualitas Generasi Muda Kristen Indonesia. Jakarta: Bilangan Research Center, 2018.

Dixit, Aparna & Vivek Palke. “Reverse Mentoring – A Key to manage Age Diversity in the Information Technology (IT) and Telecom Companies.” MIT-SOM PGRC KJIMRP 1st International Conference. (Special Issue: December 2015), 46-50.

Gentry, William A., Todd J. Weber, and Golnaz Sadri. “Empathy in the Workplace A Tool for Effective Leadership.” (Center for Creative Leadership: Issued November 2011/Reprinted February 2016), 1-13. Diakses 12 Agustus 2022. https://cclinnovation.org/wp-content/uploads/2020/03/empathyintheworkplace.pdf.

International Leadership Institute. Pengukir Sejarah Perjalanan: Melengkapi Pemimpin Mengabarkan Injil. Jakarta: ILI Indonesia, 2020.

Khan, Shahyan. “Leadership in the Digital Age – A Study on the Effects of Digitalisation on Top Management Leadership.” Master Thesis. Swedia: Stockholm Business School, 2016.

Kouzes, James M. (ed.). Christian Reflections on the Leadership Challenge. San Fransisco: John WIley & Sons Inc., 2004.

Maxwell, John C. Developing the Leader Within You. USA: Thomas Nelson Inc, 2005.

O’Toole, James. “Notes Toward a Definition of Values-Based Leadership.” The Journal of Values Based Leadership 1, no. 1 (2008): 1-9.

Roberto, John. “The Digital Transformation of the Church.” Digital Ministry and Leadership Today's Church. Minnesota, USA: Liturgical Press, 2022.

Sanders, J. Oswald. Spiritual Leadership. Chicago: Moody, 2007.

 

Footnotes

                [1] Disampaikan pada Orasi Ilmiah Wisuda STFT Jaffray Makassar, 10 September 2022.

                [2] Bambang Budijanto (ed.), Dinamika Spiritualitas Generasi Muda Kristen Indonesia (Jakarta: Bilangan Research Center, 2018), 23.

                [3] Ibid., 29.

                [4] Ibid., 30.

                [5] Garis besar tiga pilar kepemimpinan ini mengikuti alur pemikiran Shahyan Khan, “Leadership in the Digital Age – A Study on the Effects of Digitalisation on Top Management Leadership,” Master Thesis (Swedia: Stockholm Business School, 2016), 27-38.

                [6] Catatan yang lebih ringkas tentang cakupan dari Kepemimpinan Berbasis Nilai: James O’Toole, “Notes Toward a Definition of Values-Based Leadership,” The Journal of Values Based Leadership 1, no. 1 (2008): 1-9.

                [7] International Leadership Institute, Pengukir Sejarah Perjalanan: Melengkapi Pemimpin Mengabarkan Injil (Jakarta: ILI Indonesia, 2020), 205.

                [8] James M. Kouzes (ed.), Christian Reflections on the Leadership Challenge (San Fransisco: John WIley & Sons Inc., 2004), 89.

                [9] William A. Gentry, Todd J. Weber, and Golnaz Sadri, “Empathy in the Workplace A Tool for Effective Leadership,” (Center for Creative Leadership: Issued November 2011/Reprinted February 2016), 7, diakses 12 Agustus 2022, https://cclinnovation.org/wp-content/uploads/2020/03/empathyintheworkplace.pdf.

                [10] J. Oswald Sanders, Spiritual Leadership (Chicago: Moody, 2007), 72.

                [11] John C. Maxwell, Developing the Leader Within You (USA: Thomas Nelson Inc, 2005), 224.

                [12] J. Oswald Sanders, 62.

                [13] Amalia Annisa, “Sejarah Revolusi Industri dari 1.0 sampai 4.0,” diakses 18 Agustus 2022, https://www.researchgate.net/publication/348293276_Sejarah_Revolusi_Industri_dari_10_sampai_40.

                [14] John Roberto, “The Digital Transformation of the Church,” Digital Ministry and Leadership Today's Church (Minnesota, USA: Liturgical Press, 2022), 1-3.

                [15] Jonathan Bishop, “Book Review: Networked: The New Social Operating System,” International Journal of E-Politics 4, no. 2 (2013): 64-66, diakses 22 Agustus 2022, 10.4018/jep.2013040106.

                [16] Shahyan Khan, 17-20.

                [17] Aparna S. Dixit & Vivek Palke, “Reverse Mentoring – A Key to manage Age Diversity in the Information Technology (IT) and Telecom Companies,” MIT-SOM PGRC KJIMRP 1st International Conference (Special Issue: December 2015), 46.

                [18] Ini banyak dilakukan oleh gereja-gereja urban yang besar di perkotaan seperti gereja-gereja Kharismatik dan Pentakosta yang menggunakan teknologi informasi sebagai bagian dari pelayanan dan sudah sejak puluhan tahun yang lalu.

                [19] John Roberto, 3-4.

                [20] Warren Bennis, “Leadership in Digital World: Embracing Transparancy and Adaptive Capacity,” MIS Quarterly 37, no. 2 (June 2013): 635-636.

                [21] Skip Bell, “Learning, Changing, and Doing: A Model for Transformational Leadership Development in Religious and Non-Profit Organizations,” Faculty Publications 6 (2010): 111, diakses 22 Agustus 2022, http://digitalcommons.andrews.edu/christian-ministry-pubs/6.

Published in Berita

Sekolah Tinggi Filsafat Theologia Jaffray Makassar

Jl. G. Merapi 103 Makassar, 90114

Sulawesi Selatan, Indonesia

Email: sttjaffray@yahoo.com

Telp. 0411-3624129

Fax. 0411-3629549

Kontak Pascasarjana

Email: pascasarjana.sttj@ymail.com
Telp/Fax. 0411-3619757

© 2024 STFT Jaffray Makassar. All Rights Reserved.